2000 Pulau di Indonesia terancam Hilang Karena Bencana
KabarIndonesia – Baru-baru ini, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mempublikasikan hasil pengamatan ilmuwan dari berbagai negara. Isinya sangat mengejutkan kita semua. Selama tahun 1990-2008, ternyata telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15-0,3 derajat Celcius.
Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (32 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Jika bumi masih terus memanas, pada tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di seantero jagat.
Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan makanan. Napas tersengal oleh asap dan debu. Rumah-rumah di pesisir terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga akhirnya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula nyawa manusia.
Di Indonesia, gejala serupa sudah terjadi. Sepanjang tahun 1980-2008, suhu minimum kota Polonia (Sumatera Utara) meningkat 0,17 derajat Celcius pertahun. Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87 derajat Celcius pertahun.
Di Indonesia, gejala serupa sudah terjadi. Sepanjang tahun 1980-2008, suhu minimum kota Polonia (Sumatera Utara) meningkat 0,17 derajat Celcius pertahun. Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87 derajat Celcius pertahun.
Tanda yang kasat mata adalah menghilangnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu Gunung Jayawijaya di Papua. Hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung pun tak kalah mengerikan. Ternyata, permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm.
Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan, pada tahun 2050 daerah-daerah di Jakarta (seperti : Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing) dan Bekasi (seperti : Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan terendam semuanya.Di awal Desember ini, kita juga melihat permukaan laut di Selat Bunga Laut atau perairan di antara Pulau Siberut dan Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, sangat dangkal.
Kondisi ini bisa mempengaruhi kekuatan tsunami sampai ke Pulau Sumatera, terutama sekitar Kota Padang. Dari data batimetri yang dikerjakan tim BPPT bersama German Indonesia Tsunami Early Warning System (GITEWS) pertengahan November lalu, diperoleh data bahwa jarak permukaan air dengan dasar laut yang ada di Samudera Hindia sebelah barat gugusan Kepulauan Mentawai mencapai 1.000 meter.
Sedangkan, di Selat Bunga Laut, jarak itu hanya 80 meter. Di perairan antara Mentawai dan Pulau Sumatera, kedalaman perairan berkisar 1.500 meter. “Bila terjadi gempa di lempengan subduksi di barat Selat Bunga Laut, ada kemungkinan gelombang air yang tinggi sampai ke Kota Padang dan sekitarnya.
Hal ini disebabkan perbedaan drastis jarak permukaan dan dasar laut,” ujar Imam Mudita, Ketua Tim Survei Batimetri Permodelan Tsunami di Perairan Mentawai. Dengan adanya gejala ini, sebagai warga negara kepulauan, sudah seharusnya kita khawatir. Pasalnya, pemanasan global mengancam kedaulatan negara.
Es yang meleleh di kutub-kutub mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut bumi-termasuk laut di seputar Indonesia-terus meningkat. Pulau-pulau kecil terluar kita bisa lenyap dari peta bumi, sehingga garis kedaulatan negara bisa menyusut.
Dan diperkirakan dalam 30 tahun mendatang sekitar 2000 pulau di Indonesia akan tenggelam. Bukan hanya itu, jutaan orang yang tinggal di pesisir pulau kecil pun akan kehilangan tempat tinggal. Begitu pula aset-aset usaha wisata pantai.
Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi di Malang, Jawa Timur, pekan lalu sempat menyebutkan, sedikit-dikitnya 2000 pulau kecil di Indonesia terancam hilang akibat produksi penambangan yang belebihan dan kegiatan lain yang tidak ramah terhadap lingkungan laut dan daratan.
Pulau besar dan kecil di Indonesia yang telah terinventarisir saat ini sebanyak 17.504 pulau dan jika tidak ada langkah untuk menghentikan penambangan pasir besar-besaran maupun kegiatan lain yang merugikan.
Maka 2000 pulau terancam hilang menyusul 24 pulau yang hilang lebih dulu. Sementara kalau kita membaca hasil peneliti senior dari Center for International Forestry Research (CIFOR), sempat menyebutkan, pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (disebut juga gelombang panas/inframerah) yang dipancarkan bumi oleh gas-gas rumah kaca (efek rumah kaca adalah istilah untuk panas yang terperangkap di dalam atmosfer bumi dan tidak bisa menyebar).
Gas-gas ini secara alami terdapat di udara (atmosfer). Penipisan lapisan ozon juga memperpanas suhu bumi. Karena, makin tipis lapisan-lapisan teratas atmosfer, makin leluasa radiasi gelombang pendek matahari (termasuk ultraviolet) memasuki bumi. Pada gilirannya, radiasi gelombang pendek ini juga berubah menjadi gelombang panas, sehingga kian meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca tadi.
Karbondioksida (CO2) adalah gas terbanyak (75 persen) penyumbang emisi gas rumah kaca. Setiap kali kita menggunakan bahan bakar fosil (minyak, bensin, gas alam, batubara) untuk keperluan rumah tangga, mobil, pabrik, ataupun membakar hutan, otomatis kita melepaskan CO2 ke udara. Gas lain yang juga masuk peringkat atas adalah metan (CH4,18 persen), ozone (O3,12 persen), dan clorofluorocarbon (CFC,14 persen).
Gas metan banyak dihasilkan dari proses pembusukan materi organic seperti yang banyak terjadi di peternakan sapi. Gas metan juga dihasilkan dari penggunaan BBM untuk kendaraan. Sementara itu, emisi gas CFC banyak timbul dari sistem kerja kulkas dan AC model lama. Bersama gas-gas lain, uap air ikut meningkatkan suhu rumah kaca.
Gejala sangat kentara dari pemanasan global adalah berubahnya iklim. Contohnya, hujan deras masih sering datang, meski kini kita sudah memasuki bulan yang seharusnya sudah terhitung musim kemarau. Menurut perkiraan, dalam 30 tahun terakhir, pergantian musim kemarau ke musim hujan terus bergeser, dan kini jaraknya berselisih nyaris sebulan dari normal.
Banyak orang menganggap, banjir besar bulan Februari lalu yang merendam lebih dari separuh DKI Jakarta adalah akibat dari pemanasan global saja. Padahal 35 persen rusaknya hutan kota dan hutan di Puncak adalah penyebab makin panasnya udara Jakarta.
Itu sebabnya, kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia, melainkan juga warga dunia. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengatakan, Indonesia pantas malu karena telah menjadi Negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi permukiman atau hutan industri).
Jika kita tidak bisa menyelamatkan mulai dari sekarang, 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan Kalimantan yang habis, 15 tahun lagi hutan di seluruh Indonesia tak tersisa. Di saat itu, anak-anak kita tak lagi bisa menghirup udara bersih. Jika kita tidak secepatnya berhenti boros energi, bumi akan sepanas planet Mars. Tak akan ada satupun makhluk hidup yang bisa bertahan, termasuk anak-anak kita nanti. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar